Apa Yang Dimaksud Dengan Cancel Culture?

Beberapa tahun belakangan ini, fenomena cancel culture banyak menimpa public figure yang tersandung skandal tertentu. Budaya cancel culture atau sering juga disebut cancelling ini bukan sesuatu yang dimulai di era media sosial. Namun saat ini media sosial ikut menyebarluaskan praktik tersebut serta memperparah dampaknya.



Belum ada definisi yang resmi tentang cancel culture. Namun Cancel culture dapat diartikan sebagai upaya kolektif 'masyarakat' (khususnya netizen) untuk menarik dukungan kepada figur publik atau perusahaan setelah mereka melakukan atau mengatakan sesuatu yang dianggap tidak menyenangkan atau menghina. Biasanya seseorang terkena cancelling karena telah melakukan pelecehan seksual, melanggar norma keadilan yg berlaku saat ini atau berkomentar rasis, meskipun tindakan tersebut dilakukan oleh yang bersangkutan jauh dimasa lampau.

Tindakan cancel culture dapat berupa penghentian dukungan atas setiap karya dan hasil pekejaan figur publik tersebut. Yang seringkali terjadi yaitu dengan cara memotret, mempertontonkan, melabel kemudian mengecam dan mempermalukan orang tersebut di hadapan publik melalui media sosial.

Fenomena cancel culture sebetulnya memiliki sisi positif dan negatif. Dari segi positif misalnya, cancel culture mendorong figur publik menjadi lebih berhati-hati dalam bertindak dan berucap. Sebab cancel culture membuat masyarakat memiliki kuasa dan dapat dipergunakan untuk pengaruh tertentu, semacam memberikan 'sanksi sosial' kepada figur publik yang problematik. Cancel culture bisa juga menjadi alat mobilisasi masyarakat untuk mengarahkan suatu masalah agar masuk kedalam ranah hukum atau meminta pertanggungjawaban individu atas perbuatan mereka.

Salah satu contoh cancel culture yang paling terkenal yaitu Gerakan Me Too atas kasus pelecehan seksual yang dilakukan oleh Harvey Weinstein. Contoh ini membuktikan bahwa orang-orang paling berkuasa, terkenal, dan berpengaruh sekalipun dapat dijatuhi sanksi. Dengan adanya gerakan tersebut, para penyintas korban kekerasan seksual mendapatkan keberanian untuk bersuara.



Namun tidak sedikit juga yang beranggapan bahwa cancel culture lebih banyak efek destruktifnya ketimbang positifnya. Orang yang menjadi sasaran cancel culture bisa dikucilkan, akunnya di-take down, dan reputasinya rusak. Akibatnya, selain reputasi yang rusak, tak jarang kontrak kerja mereka diputus secara sepihak. Masa depan orang yang jadi target tentu bisa hancur dalam satu hari.

Buruknya, cancel culture membuat netizen seolah lupa pada hal-hal positif yang pernah dilakukan orang tersebut. Netizen enggan memaafkan dan memberikan kesempatan kedua bagi yang bersangkutan untuk menjadi lebih baik. Atau netizen justru menggali-gali kesalahan seseorang dimasa lalu. Seperti yang pernah terjadi di Amerika,  seorang wali suatu universitas terpaksa mengundurkan diri karena dia pernah mengenakan kostum Nazi ke pesta universitas beberapa dekade yang lalu. Atau seorang siswa gagal diterima di Harvard karena ia pernah menulis kata-kata rasis yang ditulisnya di sekolah menengah.

Efeknya jika cancel culture menyerang selebritas, maka karya karya selebriti itu tertutup peluangnya untuk dinikmati publik padahal karya tersebut bisa saja bernilai positif dan berpotensi secara ekonomi.

Yang menjadi masalah adalah, cancel culture dapat menggiring orang untuk mudah menghakimi atau menyalahkan seseorang tanpa mengetahui keseluruhan masalah. Hal ini bertentangan dengan asas praduga tak bersalah. Cancel culture dapat membungkam individu-individu yang memiliki opini berbeda karena mereka takut akan dikucilkan atau diserang karena opini yang mereka miliki dan menggiring individu untuk mengikuti pendapat mayoritas. Akibatnya kita kehilangan kesempatan untuk mendengarkan pendapat dari perspektif yang berbeda.

Di Korea Selatan, cancel culture juga bukan fenomena yang baru. Bagi selebriti Korea, terkena skandal sama dengan kematian karir. Kasus skandal yang paling sering menimpa artis Korea biasanya seputar kasus narkoba, pelanggaran hukum, dan pelecehan seksual. Jika skandal terungkap, netizen akan menyerang akun sosial media yang bersangkutan dengan kecaman dan hujatan.  Sang artis biasanya tak memiliki pilihan lain selain hiatus dari setiap pekerjaannya atau mundur selamanya dari dunia hiburan. Ada juga yang dipaksa untuk mundur dari dunia hiburan karena masalah skandalnya yang sangat serius. Jika skandal terjadi, hampir bisa dipastikan adanya pemutusan kontrak secara sepihak atau dipecat agensi. Bahkan kesempatan mereka untuk kembali kedunia hiburan pun bisa dikatakan hampir nol. Masyarakat Korea tak mau memberikan panggung lagi untuk artis tersebut selamanya.

Cancel Culture telah menjadi budaya baru dalam masyarakat kita. Namun perlu ada batasan dalam penerapannya. Karena cancel culture bisa saja menggiring orang banyak untuk menghakimi seseorang yang belum tentu bersalah.

 

Comments

Popular Posts